Photo Story: Pembuat Gula Merah Tradisional Banyuwangi

Posting Komentar
Tiba di Kecamatan Pesanggrahan, alam Banyuwangi menyuguhi kami pemandangan berupa hamparan kebun kelapa di kanan dan kiri. Elf yang kami naiki berhenti di depan “pabrik” Gula Merah tradisional, tepatnya di wilayah perkebunan Sungai Lembu.

Pabrik yang kami datangi tak lebih dari gubuk tanpa dinding berukuran besar yang dapat menampung belasan set tungku dan pekerja. Masing-masing set tungku yang berbahan bakar kayu digawangi oleh satu keluarga yang bekerja dari pagi hingga sore. Tak ayal, ketika kami memasuki area pabrik, kami disambut dengan asap pembakaran yang tebal dan aroma gula yang manis.
bagian depan pabrik

Ibu Suparmi (40 tahun) yang bekerja di tungku dekat pintu masuk pabrik bercerita bahwa ia kini telah menjalani karir menjadi pembuat gula merah selama 14 tahun. Sebelum menetap di Pesanggrahan, ia pernah diajak oleh suaminya untuk tinggal di salah satu daerah di Kalimantan. Suaminya saat itu bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik. Setelah beberapa tahun di sana, Suami Ibu Suparmi memutuskan untuk pulang ke kampung halaman dan menjadi salah satu pekerja di perkebunan Sungai Lembu.
Suami Ibu Suparmi saat itu mengawali karirnya dengan bekerja sebagai penderes. “Nderes” adalah pekerjaan memanjat pohon kelapa dengan bertelanjang dada dan memakai celana pendek seadanya dengan parang atau sabit dipinggang dan wadah yang diikat dengan tali ke celana dan dibiarkan menggantung, lalu menyadap "manggar" (bakal buah kelapa) yang mengeluarkan sari. Lalu manggar tadi diiris hingga keluar air sari kelapanya. Wadah yang dibawa tadi kemudian diikatkan ke manggar untuk menampung air sari kelapa. Peletakkan wadah ini biasanya dilakukan pada pagi hari dan pada sore harinya, wadah tersebut diambil kembali untuk diangkut ke tempat pemasakan sari kelapa yang nantinya akan jadi gula jawa. Dalam satu hari seorang "penderes" (pemanjat pohon kelapa) dapat memanjat sebanyak 45 pohon kelapa (sumber: Wikipedia). Setelah itu karir suami Ibu Suparmi meningkat, tak hanya menjadi seorang penderes tetapi juga turut menjadi pembuat gula merah bersama tetangga-tetangganya yang lain.
suami Ibu Suparmi

Nila hasil penderesan disaring, selanjutnya dimasukkan ke dalam wajan besar dan dimasak dengan panas yang konstan menggunakan bahan bakar kayu. Lama pemasakan tergantung dari banyaknya nira yang dimasak. Gula merah cair yang belum mengental diaduk cepat dengan arah memutar. Jika telah mengental dan berwarna kemerahan dituang kedalam cetakan. Proses pengeringan gula merah bisa mencapai 1 jam.Gula merah yang telah dikeluarkan dari cetakan siap dipasarkan.
wadah nira




Sayangnya gula merah fresh di pabrik tidak bisa dibeli secara langsung. Pembelian gula harus melalui koperasi yang berada cukup jauh dari pabrik tersebut. Menurut penuturan Ibu Suparmi, para pekerja menghindari pembelian langsung dengan pengunjung pabrik agar tidak terjadi selisih paham dengan “mandor” yang menjadi pengawas di pabrik. Mandor tersebut tak lain adalah tetangga dekat para pekerja. Jika terjadi kesalahpahaman, maka akan menjadi konflik sosial yang tidak kondusif bagi kehidupan mereka.
gula merah yang siap dijual

Ibu suparmi dan suami beserta belasan pekerja di pabrik hingga kini masih setia dengan proses pembuatan gula merah yang memakan waktu berjam-jam, menguras tenaga dan keringat, serta dengan bayaran yang tak seberapa. Mereka akan terus menjalani profesinya demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan juga membiayai keperluan sekolah anak-anaknya.

Mereka adalah gambaran dari sosok manusia Indonesia yang tak mau menyereah dengan keadaan. Sebaliknya, ia tumbuh bersama kesulitan hidup dan menjadi manusia-manusia tangguh.
bu suparmi dan saya

susie ncuss
a Devoted Wife who is addicted to Traveling, Halal Food, and Good Movies.
Contact
Email: emailnyancuss@gmail.com
Click http://bit.ly/travelndate to chat me via whatsapp

Related Posts

Posting Komentar