Aku, Dia, Dan Ransel

20 komentar
Dia dan ranselnya

Saya lahir, besar, dan sekolah hingga SMA di sebuah desa di Lampung. Hingga saya berusia 15 tahun, saya hanya tau rumah, pasar, sekolah, dan rumah simbah, yang semuanya terletak di provinsi yang sama. Semua lokasi yang saya kenal hanya berjarak perjalanan beberapa jam (2-3 jam di tahun 2000-an)  di bus antar kota yang penuh sesak dengan bau rokok, keringat, dan suara ayam yang dibawa penumpangnya.

Saya mulai mengenal pulau Jawa ketika mengejar mimpi di salah satu Universitas terkemuka di Indonesia, tepatnya di Bogor. Meski judulnya sudah jadi mahasiswa, saya tetap tak banyak menjelajah ke kota/daerah lain selain karena keharusan mata kuliah, rihlah (rekreasi) bersama kawan satu organisasi atau karena ada keperluan penting lainnya (misalnya melayat, kondangan :D). alasannya hanya satu: saya hanya mahasiswi miskin yang mengandalkan uang beasiswa yang tidak seberapa plus kiriman uang dari kakak yang bekerja di pulau lain.

Saat ini, di usia mendekati 30 (hey 30, we’ll meet very soon, haha), saya sering kali tersenyum dan tertawa-tawa sendiri saat mengenang sejarah kehidupan saya itu. Saya di usia 17-21 tahun yang tak banyak bergaul atau mengenal dunia luar ternyata memberikan keuntungan lain bagi saya di usia 22 hingga saat ini.

4 tahun sejarah kehidupan saya di Bogor sana membuat saya mudah sekali bersyukur atas kehidupan saya, terutama ketika menikah. Well, saya kan nikahnya memang umur 22, haha…

Pernikahan mempertemukan saya dengan suami yang membawa saya untuk mengunjungi banyak-banyak-banyak sekali kota dan desa yang dulu hanya saya baca dari buku dan blog (dulu facebook baru dirilis, twitter dan instagram belum ada :v). Saya rasa pernikahan pula yang membuka jalan saya untuk pindah posisi di tempat saya bekerja yang kemudian memaksa saya untuk menjelajahi negeri dari Aceh hingga Papua.

Dia (suami saya)lah yang menumbuh suburkan hobi traveling saya. Kami bahkan sudah mencoba hampir semua kendaraan saat jalan-jalan: jalan kaki, angkot, becak, motor, mobil, bus (dari eksekutif hingga royal class), kereta api (dari ekonomi, bisnis, eksekutif), perahu, kapal ferry, dan pesawat. Suatu hal yang tidak pernah saya bayangkan saat masih kuliah.

Psstt.. doakan agar kami juga bisa mencicipi full board airlines, minimal ketika kami menunaikan ibadah haji dan umrah, serta helicopter… inginnya sih waktu kami ikut hiking ke Everest, hihi.

Kami juga sudah 3 tahun rutin backpacker-an ke luar negeri 1x/tahun dan minimal tiga bulan sekali untuk main ke luar kota (terserah di mana, yang penting rihlah berdua saja). “Prestasi” jalan-jalan yang sebenarnya tidak menakjubkan ini pun tak terjangkau sama sekali oleh otak saya yang berumur 9-10 tahun masih sering berlarian membawa bakul berisi baju untuk dicuci di sungai bersama kawan-kawan satu gang di desa dulu.

Hidup saya yang dulu pun mendorong saya membawa Ibu dan adik saya berwisata sejenak di Bandung. Rona bahagia dari wajah Ibu saya saat diajak menaiki perahu di Situ Patenggang atau memetik stroberi di kawasan ciwidey membuat saya bahagia sekaligus getir. Duh, kenapa saya baru mampu membawa mereka sekarang untuk melihat Indonesia selain kampung saya di Lampung?

Semua itu membuat saya berfikit: ternyata benar ya, sejarah memang membuka mata untuk memandang kehidupan dengan sudut pandang yang berbeda. Jika sejarah hidup saya dulu berbeda (lahir di keluarga kaya raya, misalnya), maka tentu saja saya akan melihat hidup saya sekarang dengan kacamata yang berbeda warna. Bisa jadi warnanya bukan syukur, tapi sabar. Sejarah hidup saya yang sederhana ternyata juga dapat mempengaruhi serta mengubah perbuatan saya saat ini dan di masa depan.

Saya, dia, dan ransel-yang-tergantung-di-tembok-kamar-kami selalu jadi alarm yang ampuh untuk mengingat sejarah hidup saya yang lalu. Juga sebuah lonceng pengingat untuk terus merasa bersyukur atas sempurnanya takdir Allah pada saya (kami).

Jika sejarah hidup saya yang hanya debunya debu di alam semesta ini bisa membawa dampak pada (minimal) orang-orang terdekat saya. Bagaimana lah sejarah orang-orang hebat di masa lalu: Rasulullah dan sahabat, juga para pahlawan dan ulama yang berjasa pada kemerdekaan Negara ini.

Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno.


Tulisan ini diikutsertakan dalam Program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia.
susie ncuss
a Devoted Wife who is addicted to Traveling, Halal Food, and Good Movies.
Contact
Email: emailnyancuss@gmail.com
Click http://bit.ly/travelndate to chat me via whatsapp

Related Posts

20 komentar

  1. Wah senengnya yang hobi traveling..Toss! sama kita mbak. Bedanya saya sudah 40 lebih , bukan hampir 30 :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. salam kenal dengan senior traveler, mbak. hehe.

      Hapus
  2. senangnya bisa halan-halan terus bareng Pak Suami jadinya ya, mba.

    Psstt.. doakan agar kami juga bisa mencicipi full board airlines, minimal ketika kami menunaikan ibadah haji dan umrah, serta helicopter… inginnya sih waktu kami ikut hiking ke Everest, hihi.

    ____

    Aamiiin...

    Aduh ke everest? Aamiiin lagi, mba. Semoga qobul ya mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. rada ekstrim ya ke everest? =))
      kita pingin banget ke everest bareng2 gara-gara suami taun lalu ke Nepal karena ada misi kemanusiaan.
      aamiin, mbak. makasihhh...

      Hapus
  3. Waaah, senangnya bukan main ya, yang dulunya rumahan, sekarang jadi traveling ke mana-mana

    BalasHapus
  4. Perjalanan ke tempat-tempat yang telah dikunjungi menjadi bagian sejarah hidup yang berkesan ya mbak :)

    BalasHapus
  5. Alhamdulillah... ikut merasakan senang, terutama ketika bisa ajak ibu jalan2.
    Hiks, saya yang kelahiran Bandung saja belum ngalamin ke Ciwidey, Situ Patenggang, baru ke Tangkuban Parahu, tupun duluuu. Eh, tapi Alhamdulillah ini juga ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, orang bandung yah...
      iya, teh. semuanya jadi lahan untuk bersyukur ^^

      Hapus
  6. Saya juga lahir, besar dan kecil dengan hanya mengenal rumah, sekolah, dan pasar dekat rumah. Saat selesai pendidikan di pesantren saya langsung diboyong suami ke Jakarta. Btw, saya nikahnya umur 19 tahun...hihi. Salam kenal ya mbak... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, senior nikah dini nih.. hehehe
      udah main ke banyak lokasi dong tehh... ^^

      Hapus
  7. Envyy teh bisa jalan2 gt sama suami. Semoga makin banyak tempat yg bisa dijelajahi dan dishare d blog ya teh. Semoga juga makin sering ajak Ibu :)
    *saya jg blm pernah ngajak mamah jalan2 ke luar kota :((

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin, nuhun teh amy.
      rencananya mau ngajakin ke Yogya taun depan. semoga banyak rejekinya.

      semangat, teh amy...
      sekalian rihlah bareng keluarga <3

      Hapus
  8. Waaaahh, seru banget sejarah hidupnya bisa jalan2 sama pasangan gitu, mauuu ^^

    BalasHapus
  9. Setiap masa ada sejarahnya sendiri-sendiri, termasuk kita. Seperti apapun sejarah yang tertoreh, semoga bisa terambil hikmahnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya pisan, mbak.
      hikmah tercecer di setiap episode sejarah manusia. ^^

      Hapus
  10. Wah senang ya traveling kemana mana. Salam kenal ya mbak ;)

    BalasHapus
  11. Senengnya bisa travelling dengan suami....

    BalasHapus

Posting Komentar